Rabu, 07 November 2012

Contoh Analisis Cerpen "Dodolitdodolidodolibret".

*DODOLITDODOLITDODOLIBRET




Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
            “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
            Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
            ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
            Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
            Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
            Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
            ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
            Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
            Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
            Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
            Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
            ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
            Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
            ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
            Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
            Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
            Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
            ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
***
            Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
            ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”
            Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
            Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
            ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
            Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
            ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
            Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
            Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
            Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
            ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
            Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
            ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
            Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
            Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
            ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
            Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
            Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
            ”Guru! Lihat!”
            Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
            Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
            Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
            ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Ubud, Oktober 2009 / Kampung Utan, Agustus 2010.



Analisis Cerpen
"Dodolitdodolitdodolitbret"
By: Seno Gumira Ajidarma

Sinopsis Cerita
Dalam cerpen ini menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Kiplik, yang meragukan tentang kebenaran cerita dari dongeng yang mengatakan bahwa, kalau seseorang doanya benar akan dapat berjalan diatas air. Padahal Kiplik melihat, banyak orang yang berdoanya masih salah, lawong kata-katanya saja salah apalagi nanti maknanya pasti berubah dan juga berbeda serta malah bisa bertentangan.
Saking ambisinya, Kiplik menginginkan agar seluruh manusia dan ingin mengajarkan bagaimana berdoa dengan benar, sehingga dia mengingatkan hal itu kepada banyak orang, yang lama kelamaan mereka memanggilnya dengan Guru Kiplik. Dan semakin banyak yang menjadi pengikut setia Guru Kiplik dan mengikutinya kemanapun Guru Kiplik pergi.
Suatu ketika dalam perjalanannya, Guru Kiplik sampai di sebuah danau sangat luas yang di tengahnya ada sebuah pulau terisolir. Guru Kiplik pun mendatangi pulau itu. Ternyata ada satu kesalahan fatal para penduduk pulau yang jumlahnya hanya 9 orang, yakni ”mereka berdoa dengan cara yang salah”. Maka Guru Kiplik pun tergerak untuk mengajari cara berdoa yang benar. Tetapi penduduk pulau itu selalu melakukan kesalahan berulang kali dalam menghapal doa yang ia ajarkan, sehingga Guru Kiplik berpikir, ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu.”
Namun berkat kesabaran Guru Kiplik, akhirnya bisa juga para penduduk itu berdoa dengan cara yang benar, sehingga Guru Kiplik memutuskan sudah waktunya meninggalkan pulau itu dan pergi ke tempat lain bersama para pengikutnya.
Belum jauh perahu yang membawa Guru Kiplik pergi, awak perahu dengan terkejut memanggil Guru Kiplik dan menunjuk ke arah pulau. Kesembilan warga yang susah menghapal doa itu yang sedang mendekati perahu dengan berlari di atas air sambil berteriak-teriak. ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?.


Tema :
Keagamaan
Contoh kalimat dalam cerita :
“Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar”.
           
Tokoh dan Penokohan:
Guru Kiplikè Tiba-tiba pada paragraf pertama beliau mengalami konflik batin yaitu tentang doa orang yang baik dan benar akan bisa berjalan diatas air, namun beliau menampik hal itu dan tidak mempercayai mitos ataupun gagasan itu yang membuatnya resah dan gelisah dalam hati.
-Contoh kalimat dalam cerita :

Sembilan orang penduduk è sembilan orang yang sangat lugu, jauh dari peradaban dan juga termasuk jauh dari agama yang baik dan benar agamanya.
-Contoh kalimat dalam cerita :
“Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
-Dan begitu juga kalimat ini : menunjukkan keluguan mereka
”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Alur :
Majuè dari awal sampai akhir runtut dan tidak ada pengulangan cerita atau kembali ke masa lalu (Flash Back).


Setting atau latar
Setting Tempat : “Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar”.

Setting Waktu: “Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa,,,”
-Tentunya dalam perjalanan yang menaiki sebuah perahu layar akan dilaksanakan ketika matahari sudah muncul. Dan bisa menyebutkan pulau itu subur makmur, jadi masuk pada waktu siang.
Setting Alat:
“Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah,,,,
Point Of View (sudut pandang)
Orang Ketiga Serba Tahu
Amanat:
-Janganlah menilai orang dari wujud luarnya saja karena penampakan dari luar itu kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam yang masuk wilyah batin yakni didalam hati.
-Ada indikasi dari cerita diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwasanya : cerita dalam judul ini kalau kita mengambil konteks dua ormas islam yang kita ketahui secara nyata di Indonesia khususnya terdapat amanat yang dikhususkan kepada kedua ormas islam, yang dewasa ini masih memiliki perbedaan paham.
Perbedaan jalan yang ditempuh ketika mengalami suatu benturan yang mengharuskan membicarakan masalah sumber ajaran maupun sumber yang diajarkan kepada umat islam yaitu antara Ormas Islam Muhamadiyyah yang dalam cerita diatas digambarkan sebagai guru Bisa dikatakan Guru Kiplik dengan keteguhan dan cara berdoa yang baik dan benar, yang seperti itu bisa dikatakan agama dalam wilayah syariat yang sama dengan prinsip ajaran ormas Muhamadiyyah kekeh dengan ajaran islam yang lebih mengutamakan syariat yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits.
Berbeda dengan Nahdhatul Ulama yang dalam cerita diatas digambarkan kesembilan penghuni yang bertempat tinggal ditengah danau yang bisa berjalan diatas air ialah orang-orang yang tidak hanya mengkaji syariat saja, namun juga mengkaji atau belajar jalan yang lain, seperti tarikat, ma’rifat, hakikat. Dan sumber yang digunakan ulama Nahdatul Ulama tidak hanya Al-Quran dan Hadits tetapi juga Ijma’ Sahabat/ulama, qiyas dll. Namun Walaupun mereka berbeda tetapi tetap ISLAM. Islam Cinta Damai.


Yogyakarta, 6 November 2012
Salam Sastra, Salam Budaya, Salam Hormat dan Salam Cinta

Analisator : Santri Mbeling BSA Adab dan Ilmu Budaya UIN SUKA 10’ 


*Sumber : Cerpen diambil dari "Kumpulan Cerpen Kompas 2010"

Sabtu, 06 Oktober 2012

Contoh Cerpen yang Dimuat di Koran Kompas



DODOLITDODOLITDODOLIBRET

 

Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
            “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
            Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
            ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
            Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
            Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
            Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
            ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
            Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
            Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
            Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
            Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
            ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
            Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
            ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
            Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
            Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
            Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
            ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
***
            Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
            ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”
            Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
            Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
            ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
            Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
            ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
            Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
            Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
            Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
            ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
            Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
            ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
            Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
            Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
            ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
            Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
            Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
            ”Guru! Lihat!”
            Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
            Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
            Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
            ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”

Ubud, Oktober 2009 / Kampung Utan, Agustus 2010.