DODOLITDODOLITDODOLIBRET
Oleh : Seno
Gumira Ajidarma
Kiplik sungguh mengerti, betapapun
semua itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang
bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang
berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar
membaca doa secara benar.
”Bagaimana mungkin
doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya
salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku
Cara
Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
Adapun dongeng
yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa
dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa
membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu
membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan
duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga
sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk
akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam
pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
”Dongeng itu
hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan
didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
Justru karena itu,
semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia
selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya
berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya
tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan
juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang
melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih
benar.
Kebahagiaan yang
telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak
ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap
kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga
semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang
benar.
Ternyata tidak
sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa
dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena
tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan
ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
Demikianlah
akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami
bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa
sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun
Kiplik pergi.
”Izinkan kami
mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin
mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik
selalu menolaknya.
”Tidak ada lagi
yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang
bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
Guru Kiplik bukan
semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa
membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin
membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi
berbahagia karenanya.
Demikianlah Guru
Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan
mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun
mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara
berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke
gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap
tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan
memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu,
kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang
berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
”Ah, itu hanya
takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
***
Suatu ketika dalam
perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau
itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di
pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu
sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan
besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang
mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi
yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun
hanya bisa geleng-geleng kepala.
”Danau seluas
lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”
Maka disewanya
sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon
terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika
pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan,
karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah
diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik.
Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau
sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu
berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga
tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak
terdapat satu perahu pun di pulau itu.
”Jangan-jangan
mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah
danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
Namun, alangkah
terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan
terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja
juga tidak putus-putusnya berdoa!
”Tetapi sayang,”
pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
Maka dengan penuh
pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan
kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa
saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka
yang salah itu.
Dengan segala
kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian
pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi
diri mereka sendiri!
”Kasihan sekali
jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara
berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap
kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa
tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
”Jangan-jangan
setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah
itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
Guru Kiplik
hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang
luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang
benar.
Saat itulah Guru
Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di
atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan
cara berdoa yang benar.
”Syukurlah mereka
terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada
para awak perahu.
Pada saat waktu
untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang
benar.
Baru saja selesai
berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
”Guru! Lihat!”
Guru Kiplik pun
menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat
sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
Guru Kiplik
terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan
penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu,
telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi
yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan
berlari-lari di atas air?
Sembilan orang
penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu
sambil berteriak-teriak.
”Guru! Guru!
Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Ubud, Oktober 2009 / Kampung
Utan, Agustus 2010.