Sabtu, 06 Oktober 2012

Contoh Cerpen yang Dimuat di Koran Kompas



DODOLITDODOLITDODOLIBRET

 

Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
            “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
            Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
            ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
            Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
            Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
            Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
            ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
            Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
            Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
            Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
            Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
            ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
            Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
            ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
            Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
            Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
            Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
            ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
***
            Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
            ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?”
            Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
            Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
            ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
            Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
            ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.”
            Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
            Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
            Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
            ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
            Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
            ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
            Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
            Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
            ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
            Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
            Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
            ”Guru! Lihat!”
            Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
            Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
            Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
            ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”

Ubud, Oktober 2009 / Kampung Utan, Agustus 2010.

















Contoh Flash True Story



Tersesat Dalam Candu Agama
By : Santri Mbeling
            Tak kusangka, aku tak menduga sebelumnya,,,Subhanaallah celetukku dalam hati sedari tadi, hanya kalimat itu yang muncul dari mulutku ini, hanya terdengar lirih, lebih pastinya hanya dibatin, karena aku tak mau ia mendengarnya, sungkan jikalau ia malu karena aku terlalu memujinya, aku rasa itu hal yang biasa sebenarnya, aku memujinya karena kekuasaan Allah yang dapat turun untuk hambanya yang berikhtiyar, seperti kata ustadku di kampung, ilmu itu tak akan turun kepada manusia jikalau Allah tak menghendakinya. Tak ada Kun maka mustahil Fayakunnya Allah hadir ditengah kita.
Ia temankku satu kampus, satu jurusan dan juga satu kelas, entah dulu bagimana ceritanya, tak sengaja kami bisa satu kelas, mungkin memang Tuhan sudah berkehendak, lewat pihak jurusan yang menentukan. Kami berada pada kelas A, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya berangkat dari kampung menuju ke kota itu, hanya bermodalkan doa dan nekat saja. Hampir sama dengan temanku itu, bedanya ia sudah membawa bekal ilmu yang cukup dan bisa dibilang mumpuni, ia bernama Fauzi Tachta Aunirrohman, panggilan akrabnya Ozi, ya kadang juga ada yang memanggilnya Ozek tak sedikit yang memanggil Gus juga. Ia berasal dari keluarga yang sederhana, bertempat tinggal asli di Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, komoditas penghasil kentang karena juga penduduk asli mayoritas bermata pencaharian sebagai petani kentang, dan tak sedikit juga yang berternak, termasuk peternak unggas yang disana sangat marak.
Kebetulan ayahnya si Ozi bekerja sebagai Petani dan juga sebagai perternak unggas burung puyuh. Berawal dari kesederhanaan ini ozi hidup ditengah-tengah keluarga yang hangat dan kental dengan agamanya, yang masyarakat lingkunganya mendukung sekali untuk mengikuti tombak sejarah keluarganya, ia sebagai salah satu penerus Hafidz (penghafal Al-Quran) yang sangat diharapkan dikeluarganya, ia keturunan laki-laki yang pas dan cocok meneruskan kiprah sejarah keluarganya sebagai hafidz, seperti ayah dan juga paman-pamanya yang lain.
            Sejak kecil ia sudah mengenyam pendidikan pondok, yaitu sejak kelas dua sekolah dasar, di daerah Magelang, Jawa Tengah. Karena alasannya, dari dulu tradisi yang berjalan di keluarganya seperti itu, setiap anak lelaki sebisa mungkin ia harus keluar dari rumah untuk mencari pendidikan baik itu formal ataupun non-formal di luar daerah, harus merantau jauh dari rumah. “Aku menyadari itu,,namun aku orangnya sangat patuh, manut kepada orang tua, cuman itu yang aku ingat dan itu juga yang ditanamkan kepadaku, ketika masih kecil dulu, hingga sekarang. Dan aku sudah kecanduan, dengan candu-candu agama”. Baginya, itu memang hal yang biasa, namun untuk orang pada umumnya itu merupakan sesuatu yang luar biasa dan diluar kebiasaan orang pada umumnya, menurutku. Subhanaallah, batinku dalam hati. Celotehnya dengan penuh keyakinan, dengan suara pelan namun pasti, nada khasnya itu yang ketika ngajipun bisa terbawa dan terasa indah dan berbeda dengan orang lain. Sosoknya ketika ia bebicara, ketika ia mendengarkan ceramah dan juga ketika pertama kali aku mengetahui dan sekaligus mendengarkan suara-suara bacaan Al-Qurannya, membuat semua telinga yang mendengarkan bisa merinding karena keta’dziman, iya karena ketaatan dan merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran ketika dibacakan kepada siapa saja yang mendengarkannya akan merasakan ketrentraman dalam hati, kenyamanan dalam jiwa, teduh, serasa ada angin sepoi-sepoi mengerayangi kulit ini sehingga menjadi dingin, ayem. Kadang juga seperti kata ustadku di kampus ketika orang yang mendengarkan Al-Quran itu dengan penuh perasaan dan menjiwai, berusaha menafsirkan maknanya sehingga bisa larut dalam keharuan yang tak terperikan. Hanya ada di Al-Quran, hanya ada ketika kita membaca ataupun mendengarkannya.
            Aku tak berani menganggunya, dan akupun memutuskan kembali ke kamarku yang tak jauh dari kamar temanku, yang untuk sementara ia bermukim disana karena ingin menyelesaikan tugas kuliahnya, yang deadline pengumpulannya besok. Ia sempat menggobrol denganku, pada suatu kesempatan yang jarang ia ceritakan kepada orang lain, perihal kisahnya ketika menghafal Al-Quran, termasuk keluh kesahnya ketika menghafal, hambatan, dan kepuasan batinnya ketika ia berhasil menyetorkan apa yang ia hafalkan di kepala seharian, raut wajahnya ketika bercerita di depanku, memancarkan keindahan cahaya yang tidak setiap orang memilikinya, ya mungkin itu cahaya iman. Cahaya yang keluar bagi seoarang penghafal Al-Quran, walau ia berkulit gelap namun di setiap senyumnya yang manis itu yang membuat semua orang terpikat karena kekaguman keilmuan yang dimilikinya, Subhanaalllah.
***
            Ketika itu, ia berada di pondok Al-Quran, Kudus. Iya Pondok Al-Quran Kudus, yang pada masa itu masih banyak penghafal yang usianya jauh diatasnya, kira-kira sepuluh hingga lima belas tahun lebih tua darinya, padahal ia baru sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Banyak sekali pengalaman ketika ia baru mulai menghafal disana, mulai dari pengalaman yang indah hingga yang paling buruk. Dengan membenarkan posisi duduk dan menata rambutnya yang sedari tadi terurai dan panjang, aku mengikuti ceritanya dan memasang kedua alisku seolah menyatu sekaligus menyimaknya dengan seksama. Ia bercerita dimulai dari awal sekali ketika pertama yang diajarkan disana, ia harus menghafalkan surat-surat pendek terlebih dulu, di mulai dari surat An-nas, surat yang paling akhir pada mushaf Al-Quran, lanjut langsung ke depan surat setelahnya hingga hafal jus 30, yang terdiri dari surat-surat pendek yang paling sedikit ayatnya dan mudah sekali untuk dihafalkan. Baru setelah itu ia dianjurkan menghafalkan surat-surat yang populer, yaitu termasuk di dalamnya Surat Yassin, Al-Waqiah, dan lain-lain, sampai dilanjutkan dengan surat Al-Baqoroh, ayat pertama. Sedari awal ia tidak mengalami kesusahan dalam hal menghafalkan karena, suasana dan pendidikan formal-nya di Madrasah Tsanawiyah yang tidak menganggu kegiatan hafalannya, namun ketika masuk Madrasah Aliyah yang semakin membuatnya sedikit bingung dalam mengatur waktu, antara waktu hafalan dengan waktu belajar di Madrasah, Bayangkan saja, setiap hari ia harus setoran hafalan, karena apabila ia tidak setoran, jatah setoran hari berikutnya akan ditambah dan semakin berat lagi beban yang ia dapatkan setiap harinya, belum lagi ia harus belajar mengulang pelajaran di Madrasah, mengerjakan tugas yang di berikan ustadz, dan juga kadang ada ulangan harian yang mendadak. Untungya dan mungkin itu Haq murni pertolongan Allah, setiap hari ia bisa menyetorkan jatah setoran tiap hari walau kurang lancar, dan setiap ada ulangan harian mendadak, ataupun sekedar kuis yang diadakan ustadz, pasti ia bisa mengerjakannya, ia sendiri kadang bingung, padahal ia jarang sekali belajar, karena harus menghafal-menghafal dan menghafal. Subhanaallah,,,kataku, pelan.   
            Pengalaman ini aku alami dan melihatnya, mendengarkan sendiri dengan mata dan kepala saya sendiri, dua tahun bersamanya dalam satu kelas, hingga rasa kagumku semakin bertambah dan semakin menambah keyakinanku pada Allah SWT. Ketika itu, ada pertanyaan dari dosen Mata Kuliah Nahwu, tentang salah satu sub-bab Majrurot, yang memang menurut kesaksian teman sekelasku yang lain, merupakan bab yang sulit  apalagi kalau sudah membahas sampai spesifik lagi. Nyaris teman satu kelas tidak ada yang bisa menjawabnya, dengan tiba-tiba seketika itu Ozi mengangkat tangan dan menjawabnya dengan gamblang disertai contoh penggunaanya dalam Al-Quran, dengan secara terperinci dan disertai argumennya yang sangat mendukung. Kalimat Subhanaallah membahana serempak seluruh kelas seperti koor upacara bendera. Jika aku tanya langsung masalah kejadian seperti itu, bagaimana metodenya belajar, ia hanya geleng-geleng kepala, “aku tak tahu kang, tadi itu dengan cara tiba-tiba, terlintas dipikiranku”. Seperti itu Allah Ta’ala memberikan ilmu yang secara langsung kepada hambanya, tanpa dimintapun, sekali Allah berkehendak kepada siapapun, pasti akan terjadi. Ya itulah ilmu laduni, ilmu yang tidak sembarang orang akan diberikan secara langsung dari Allah, hanya hamba dan orang-orang dipilih-Nya yang bisa mendapatkannya. Maha Suci Allah,,,dengan segala kebenaran firman-Nya. Aku yakin dengan agama ini, aku yakin dengan islam, bi Idnillah dengan izin Allah kita akan selamat baik hidup di dunia yang fana ini dan akan mendapatkan ganjaran yang sesuai kelak di Akhirat. Amiiin. Sampai sekarang keajaiban-keajaiban dari keistimewaan penghafal Al-Quran yang salah satunya temanku bernama Ozi ini, hingga sekarang akan terus muncul dan Alhamdulillah temanku Ozi ini, sekarang sudah mendapatkan lebih dari setengah perjalanan menghafal Al-Quran, kurang lebih sekitar dua puluh juz, berjalan. Dan aku sebagai temannya sebenarnya sempat iri dan timbul keinginan untuk mengikuti jejak langkahnya, namun belum saatnya, mungkin belum ada panggilan Ilahiyah yang muncul sebagai amanat untukku, karena memang tidak sembarang orang bisa mendapatkan kepercayaan Tuhan akan hal seperti itu, tetapi semua orang yang khususnya muslim mempunyai hak dan kewajiban tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun karena memang sudah menjadi tugas kita sebagai generasi muslim untuk meneruskan Dakwah Nabi Agung Muhammad SAW. Semoga kita termasuk dalam golongannya yang mendapatkan syafaatnya dari baginda Rosul, Amiin.

* Untukmu salam ta’dzim sahabatku, Fauzi Tachta Aunirohhman di Tlatah Dieng.

Jumat, 05 Oktober 2012

Sinopsis Cerpen " Robohnya Surau Kami"



Robohnya Surau Kami
Oleh: Ali Akbar Navis
            Dalam cerpen ini menceritakan tentang seorang kakek yang menjadi sebagai garin, penjaga surau (takmir). Menjadi seorang penjaga surau dia tidak mendapatkan honor atau gaji apapun. Dia hidup mengandalkan dari sedekah, yang hanya sekali pada hari Jumat. Pekerjaan sambilannya yaitu menjadi pengasah pisau dan gunting. Apabila yang meminta tolong perempuan biasanya dia diberi sambal. Berbeda lagi, apabila yang meminta tolong itu laki-laki, ia diberikan rokok kadang juga uang sebagai imbalannya. Tidak sedikit juga yang hanya memberikan ucapan terima kasih dan senyuman.
            Suatu ketika, kakek terlihat murung, sedih, kesal dan bermuram durja. Ia duduk termenung di serambil surau dengan ditemani beberapa peralatan asahan dan pisau cukur tua berada disekitar kaki kakek. Ternyata ia baru saja bertemu dan berbicara dengan Ajo Sidi, si pembual atau ahli pembuat cerita. Cerita-ceritanya aneh, unik, yang membuat cerita dengan menganalogikan lawan bicara dengan sesuatu. Hari itu kakek yang dijadikan bualan ceritanya, yang pada intinya menjadi pameo atau  semacam cerita yang menyindir pendengar.
            Ajo Sidi, si pembual itu menceritakan seseorang bernama Haji Shaleh, yang dulunya didunia selalu beribadah kepadaNya, taat menjalankan perintahNya dan selalu takwa kepadaNya. Namun, di akhirat Haji Shaleh, malah dimasukkan ke dalam neraka, bahkan ditempatkan pada keraknya neraka. Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya, dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri. Segala kehidupannya lahir batin diserahkan kepadaNya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain. Bahkan dia tak pernah membunuh seekor lalat pun. Padahal dia hidup berkaum, bersaudara namun sedikitpun tak memperdulikannya. Dia selalu bersujud, memuji dan berdoa kepadaNya.
            Setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi, kakek hanya merenung dan memikirkannya Seolah ia merasakan apa yang dirasakan Haji Shaleh.
Keesokan harinya, kakek mengakhiri hidupnya dengan menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur. Berita kematian kakek sudah tersebar ke seluruh kampung, semua warga kampung mengurus jenazah kakek. Semua warga mengantar kepergian jenazah kakek ke makam. Namun Ajo Sidi yang bisa dikatakan menjadi penyebab kematian kakek, malah tetap pergi bekerja. Dan sebelum pergi bekerja, Ajo Sidi berpesan kepada istrinya agar membelikan kain kafan untuk mengafani jenazah kakek.