Senin, 30 Juli 2012

Cerpen Pengalaman Pribadi


Dibalik Dompet Hitam
By: Santri Mbeling Al-Qusairi
            “Allahu Akbar,,,,dimana dompetku, Ya Allah,,,”. Beberapa kali aku menyebut nama-Nya, sambil mengingat-ingat dimana aku terakhir menaruh dompet hitam, yang sudah jadul itu. Di tepi jalan tempat pemberhentian, aku memeriksa saku bajuku, celana semuanya nyaris nihil tak ada sesuatupun di dalamnya, kecuali korek gas yang sedari pagi ku kantongi untuk menyulut kreteg.
Semula aku mengarahkan motor ke toko langganan, untuk membeli barang-barang keperluan pribadi. Namun sesampainya di depan toko, baru aku sadari bahwa dompetku hilang. Aku mencoba memutar arah, kembali melintasi gang yang tadi aku lewati. Ya gang kecil , dekat warung nasi langgananku setiap hari.
Setiba di warung Mbok Karmi, yaitu pemilik sekaligus pelayan warung. Aku tanyakan perihal dompet berwarna hitam. Namun jawabannya tak memuaskan batinku, nihil juga. Tak terima, merasa tak puas, gang tadi kusisir sampai tiga kali dan mengira kemungkinan terbesar yang terjadi. Namun usaha itu tak membuahkan hasil. Hingga asa menghinggapi.
Aku memutuskan kembali ke asrama. Setiba di asrama, aku tak langsung memakan makanan yang dibeli tadi. Aku masih kepikiran dompet hitam kesayanganku, pemberian ayah sewaktu di Aliyah dulu.
Sebenarnya, di dalam dompet, berisi KTP, KTM, ATM dan uang tak seberapa jumlahnya. Dan yang paling penting adalah dompet hitam kesayanganku itu, tak akan bisa kulupakan memori sejarah yang terukir di dalamnya. Sembari memandangi makanan yang telah dingin, berubah kepandangan kosong keluar jendela, seolah-olah mengulang sejarah perjalanan bertahun-tahun, antara aku dan dompet.
***
            “Hayo ada apa ini, kok melamun. Belum makan po ?”. Tanya Tino kakak senior asrama.
            “ Iya ee mas,,,”. Sahutku dengan wajah bermuram durja
            Piye iki,,,ngopo?”. Dengan suara medok Jawa campuran itu
            “ Dompetku hilang mas”.  Jawabku singkat
            “Sebentar-sebentar. Tenangkan dirimu dulu, jangan panik. Dimana hilangnya?”. Mencoba menenangkan
            Kemudian aku menceritakannya, mulai dari asrama sampai kejadian dimana aku kehilangan dompet hitamku, untuk hal bercerita aku memiliki keahlian yang secara tidak langsung turun-temurun dari keluarga ibu. Dengan hafal dan secara rinci seolah-olah mesin foto dengan teknologi terkini.
Tak lama bagiku untuk menceritakan kejadian yang aku alami. Tiba-tiba Mas Tino langsung mohon diri, entah tak tahu apa yang akan dilakukannya. Aku hanya berdoa dan berharap kepada Tuhan semoga dompet hitamku jatuh ke tangan yang benar dan dapat kembali kepelukanku.
Selang beberapa menit, mas Tino kembali kekamarku dengan nafas tersengal seperti habis dikejar anjing. Dengan cepat Mas Tino mengatur nafas dan membenarkan jepitan di rambutnya.
Dia memulai pembicaraan dengan mengatakan, ada berita baik dan ada berita buruk. Aku tak mengerti maksudnya, lalu ia menjelaskan padaku. Bahwa tadi, setelah mendengarkan ceritaku, Mas Tino langsung mengeceknya di TKP, gang kecil dekat warung makan. Ia mendapatkan informasi tentang dompetku yang hilang. Dari salah satu warga sekitar gang. Bahwasanya, tadi siang sekitar ba’da Jumat, ada seorang perempuan paruh baya yang memungutnya di tengah jalan. Warga itu tidak berani menegur ketika melihat perempuan paruh baya mengambil dompetku. Karena warga itu ragu-ragu antara menegur atau tidak. Warga itu mengira kalau dompet hitam yang di jalan adalah milik perempuan paruh baya. Ada sedikit harapan batinku. Sedikit lega dan bisa bernafas.
 Namun, yang menyedihkan adalah berita buruknya. Aku paling tidak suka mendengarkan berita buruk, namun apa boleh buat. Yang terjadi semua ini, atas kehendak-Nya, pikirku. Mas Tino mulai berbicara lagi. Warga itu yakin, perempuan yang menemukan dompet tadi bukan orang yang kos, ataupun penduduk asli yang tinggal di daerah sekitar.
Seketika itu mataku seolah-olah berkunang-kunang. Baru saja aku mendengarkan berita baik dan mempunyai harapan besar akan dikembalikannya padaku. Serasa kulitku tertimbun air es. Masuk ke dalam pori-pori kulit, terasa sampai qolbu. Serta membuat degup jantung kembali normal. Namun, baru beberapa menit aku menikmatinya, sudah harus diputus cairan panas, berupa berita buruk yang mengucur bebas dari atas kepalaku, hingga kulit ini seolah melepuh mengeluarkan keringat dingin mengalir bebas.
Masyaallah. Teriakku dalam hati. “Terima kasih mas, atas bantuan dan informasinya”. Kata sendu bernada semu, tak bergairah dan keputusasaan menjalar diseluruh urat nadiku. Menyebar keseluruh tubuh. Nasi yang sedari tadi masih terbungkus, tak aku perhatikan karena masih memikirkan kejadian yang aku alami.
Namun perut yang sedari pagi belum terisi apapun, mulai berkontraksi. Karena mulai bangun tidur sampai selesai sholat Jumat, perutku kosong tak berisi. Hanya air mineral yang aku minum. Itupun, tegukkan terakhir. Karena tukang air isi ulang yang biasa mengisi galon, kebetulan libur. Kini lambungku memberontak, ingin bekerja seperti biasanya.
Tak ingin menambah sengsara dan nelangsaku, sedikit demi sedikt mulai kuraih dan mencoba membukanya. Nasi sayur dengan lauk tempe goreng. Menjadi sarapan, sekaligus makan siangku. Dengan bumbu kesedihan, karena kehilangan salah satu benda berharga pemberian ayahku.
“Mungkin dompet hitamku butuh majikan yang baru. Jikalau dompetku kembali, itu sebuah kebahagian bagiku. Dan kalau tidak kembali, memang itu musibah”. Pikirku smbil berusaha menghabiskan sisa-sisa  nasi yang menempel ditangan.
***
            Malam itu sunyi, sepi. Biasanya, asrama tempat tinggalku selalu ramai dengan suara. Entah itu sekedar ngobrol, bercanda, bermain gitar ataupun menonton bola. Namun malam ini, nampak sunyi sekali. Tak ada aktifitas kehidupan.
Yang ada hanya suara hewan malam, jangkrik serta suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi yang menemaniku dalam kesunyian dan kesepian malam ini. Namun dengan keadaan seperti ini, aku baru teringat. Aku mencoba menengok dinding, jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Ternyata sekarang sudah pagi. Aku bangun, berusaha membuka mata yang terasa masih lengket. Aku berdiri dan langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu untuk melaksanakan Qiyamul Lail.
Beberapa sholat sunnah aku tunaikan. Tak lupa Sholat Sunnah Hajat. Dan aku menutupnya dengan lantunan doa Hajat, sekaligus doa yang pernah aku pelajari di pondok. Seperti kata Kyai, beliau pernah memberikan doa, yang intinya untuk mengembalikan barang milik kita, tentunya atas izin Allah SWT. Ayatnya yaitu,“Fasubhanalladhi Biyadihi Malakuutu Kulli Sai’iwwailaihi Turja’un” . Maka Maha Suci Allah yang di Tangan-Nya kekuasaan, atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan ( Q.S Yassin, ayat ke-83).
Aku rapalkan doa itu, sebisa dan semampuku. Dengan penuh keyakinan, akan hajat yang aku minta kepada Allah. Sisanya ihtiyar kujalankan. Disela-sela doa, aku meminta agar diberikan petunjuk dan langkah apa yang harus aku lakukan. Semua curhatan, aku tumpahkan kepada-Nya saat itu juga. Belum sampai tangan ini mengusap wajah, tiba-tiba terlintas dipikiranku ide untuk membuat sebuah pamflet pengumuman, tentang kehilangan dompet yang aku alami kemarin.
Pada saat itu juga aku bergegas membuka laptop dan menarilah jari-jariku diatas keybord laptop. Mengetik isi pengumuman untuk dipasang di sekitaran tempat dimana dompetku hilang. Hanya butuh beberapa menit aku menyelesaikan format pamflet itu.
Semua data, bukti dan ciri-ciri kepemilikan sudah tertera dan juga nomer handphone-ku. Aku teliti, aku baca ulang, terasa semuanya sudah lengkap, termasuk tempat tinggal asrama, di Yogyakarta. Untuk lebih memudahkan dalam pencarian dompet.
Mungkin apa yang aku lakukan ini belum tentu bisa mengembalikan dompetku. Namun aku tetap optimis dan banyak bersabar. Urusan ketemu bagiku sekarang nomor dua dan yang paling penting aku sudah berihtiyar. Soal ketemu tidaknya, aku pasrahkan kepada Allah yang aku yakini kebenarannya.
***
            Pagi sekali, aku mencetak file yang diketik semalam. Setelah itu, langsung meluncur ke TKP, gang kecil dekat warung langganan, dan jalanan sekitar dimana aku kehilangan dompet. Sebelum menempelkan, tak lupa aku mohon izin kepada Pak RT, Pak Dukuh dan juga warga sekitar untuk menempelkan pamflet pengumumanku. Di papan pengumuman dukuh., di sudut-sudut jalan, di pojok kampung dan di tiang-tiang listrik tak luput dari operasi penempelanku.
Beberapa lembar pamflet pengumuman habis dengan cepat. Karena dibantu oleh kedua temanku, yang setia dan baik sekali denganku. Mereka bernama Fauzi dan Abdul. Setelah itu, tiba-tiba lelah menyergap dan aku memutuskan kembali ke asrama. Sekarang bagiku hanya berdoa, berdoa dan terus berihtiyar. Menunggu telpon atau sms yang membutuhkan kesabaran. Karena memang harus menunggu dan terus menunggu.
Setelah curhatanku kemarin, pada waktu sepertiga malam kepada Allah SWT. Aku mulai belajar bagaimana harus bersabar menerima ujian dan cobaan, yang berasal dari Sang Khalik. Bukankah, Barang siapa yang sanggup menerima ujian dan cobaan-Nya serta berhasil lolos. Akan mendapatakan peringkat yang ditandai dengan semakin meningkat, amal, perbuatan dan  ibadahnya kepada Allah SWT.
***
            Hari berganti hari, terasa begitu cepat dan genap seminggu setelah berita kehilangan itu aku tempelkan. Namun belum ada satupun,  yang menghubungi nomor yang sudah aku cantumkan di pamflet pengumuman. Ada satu momor masuk ke dalam handphone jadulku, aku baca isinya, ternyata hanya orang iseng yang ingin berkenalan denganku. Masyaallah.
Bukannya memberi informasi, malah ingin berkenalan. Dia kira aku seorang perempuan. Karena tertulis di pamflet itu, atas nama Fitri Bayu Firdhaus. Nama Fitri yang menjadi alasan kenapa aku disangkanya perempuan. Allah ya Roob, gerutuku. Pasrahku tumbuh, hanya Allah yang bisa membantuku. Iya hanya DIA. Sedikit demi sedikit, aku sudah merelakan dompet hitam pemberian ayah itu, dengan sedikit rasa yang mengganjal dihati dan dengan segala kepasrahan karena Allah Ta’ala.
 Aku iklas, jikalau harus berpisah dengan dompet hitam bersejarah itu. Rencana ke depan, aku ingin segera membuat kartu identitas. Berupa Kartu Tanda Penduduk, untuk akses kesemua kartu yang diperlukan. Yang selama ini aku miliki termasuk SIM, ATM, KTM. Karena sudah  menjadi skala prioritas dalam hidupku. Yang jauh dari orang tua merantau di negeri orang, yang akan berjalan mulus, jikalau identitas diatas ada.
Menurutku, lebih baik memikirkan masa depan, memikirkan sesuatu yang ada di depan kita yang secara nyata. Daripada memikirkan sesuatu, yang belum ada kepastian. Ya aku harus bangkit. Masak cuman gara-gara dompet hilang, semuanya juga harus hilang.
Tak akan kubiarkan semua itu terjadi. “Allahu Akbar, aku harus bisa”. Teriakan semangatku menggelora. Seolah aku menjelma sebagai Presiden Sukarno, yang bisa membakar semangat rakyat Indonesia versi-ku. Untuk menjunjung tinggi semangat pribadiku sendiri. Aku berdiri mematung, seperti patung Sukarno, berpose menggepalkan tangan yang sedikit maju kedepan, dengan mimik muka garang.
Seolah-olah aku berdiri di podium. Dihadapan ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia yang tak lain adalah berdiri diatas meja kecil, yang aku sendiri tak menyadarinya. Dan disaksikan oleh rakyat, barang-barang dan benda perabotan asrama yang hanya bisa diam, tak ada yang merespon teriakan semangatku.
Tok,,tok,,tok, terdengar suara hp-ku berbunyi, kubuka, dilayar kaca tertera.
“Mas aku yang menemukan dompet sampean. Sekarang mas bisa mengambilnya, di pos satpam UIN, dan maaf baru memberitahukan sekarang”. Langsung dengan sigap dan cepat aku membalasnya.
“Benarkah itu mbak, mas?”. Kukirim segera.
Semula jantungku ini, berdetak beraturan. Kini jantungku mulai berdetak tak menentu. “Dig-dug, dig-dug, dig-dug,,dug”. Bertempo lebih cepat dari biasanya, seolah mengiringi jalannya, saat aku menunggu sms balasan dari sang penemu dompet.
“Iya mas, ini benar. Mohon nanti dicek dulu, takutnya kalau ada yang kurang”.
Tanpa berganti baju, dengan kostum yang masih melekat ditubuh, dengan memakai atasan hitam. Kaos kebanggaanku, yang bertuliskan Pidato Sukarno. Lengkap dengan gambarnya dan bawahan training berwarna hitam bersirip merah. Kunci motor aku tancapkan, gas aku pegang dan seketika itu tubuhku melesat cepat meninggalkan asrama menuju pos satpam UIN. Yang tak jauh dari asrama tempat tinggalku, hanya beberapa menit. Dan  sampailah aku di tempat tujuan.
Motor aku parkir sebelah kantor satpam. Dengan nada suara pelan, aku menanyakan perihal dompet itu dan menceritakan perihal kejadian dua minggu yang lalu. Menurut sumber, yaitu orang yang menemukan, dipasrahkan di pos ini, “apakah benar dompet hitam saya, masih ada di sini?”. Tanyaku dengan penuh semangat.
Pak satpam yang menjaga pos hari itu manggut-manggut, mendengarkan penuturan yang aku sampaikan. Setelah beberapa kali pertanyaan, yang ia ajukan kepadaku. Mungkin itu, untuk sekedar menguatkan tentang bukti kepemilikan. Dan itu tak sulit bagiku, karena pertanyaaanya, perihal diriku sendiri. Mencocokan data dengan kenyataan, selaku pemegang identitas yang sah. Karena sebagai petugas keamanan, mereka tak mau membuat kesalahan hanya karena, gara-gara salah memberikan hak milik orang.
Aku akui kedisiplinan bapak-bapak satpam itu. Aku bangga pada mereka karena tak mau menggambil barang yang bukan hak dan miliknya. Dan terlebih lagi, perempuan yang menemukan dompetku. Ia tak mengambil sedikitpun, ia hanya melihat kartu identitas yang ada didalam dompetku dan itupun ia sudah memohon maaf kepadaku, karena membukanya tanpa seizin dariku. Aku kagum dan takjub kepadanya. Subhaanallah.
Sebagai tanda terima kasihku kepadanya, aku menggundangnya untuk makan malam bersama di sebuah cafe atau mungkin di sebuah rumah makan. Namun itu hanya rencana. Allah berkehendak lain, ia dan suaminya harus bersiap-siap mengemasi barang-barangnya. Karena mereka ingin pindahan ke daerah yang lebih nyaman, bersih dan terjangkau. Mereka sepasang suami istri yang baru akan memiliki calon bayi, yang mereka idam-idamkan dan juga oleh banyak orang yang sudah menikah.
Aku hanya bisa kecewa sekaligus bahagia, karena dompetku hitam pemberian ayahku telah ketemu. Dan tak lupa juga untuk melengkapi kebahagiannku aku mengadakan syukuran kecil-kecilan, berwujud shodaqohan, makanan untuk teman asrama yang sudah bekerjasama, membantuku, baik berupa pikiran atau tenaga yang semuanya sangat berjasa bagiku.
Aku yakin, Allah mempunyai maksud dari setiap peristiwa yang telah aku alami, oleh sebab itu aku ingin memperbaiki, apa yang perlu diperbaiki dan meluruskan dari setiap apapun yang membengkok. “Dan Sesungguhnya Allah akan selalu bersama dan mencintai orang-orang yang sabar”. Sabar itu Indah.