Dibalik
Dompet Hitam
By:
Santri Mbeling Al-Qusairi
“Allahu Akbar,,,,dimana dompetku, Ya
Allah,,,”. Beberapa kali aku menyebut nama-Nya, sambil mengingat-ingat dimana
aku terakhir menaruh dompet hitam, yang sudah jadul itu. Di tepi jalan tempat
pemberhentian, aku memeriksa saku bajuku, celana semuanya nyaris nihil tak ada sesuatupun
di dalamnya, kecuali korek gas yang sedari pagi ku kantongi untuk menyulut
kreteg.
Semula aku mengarahkan motor ke toko langganan, untuk membeli
barang-barang keperluan pribadi. Namun sesampainya di depan toko, baru aku
sadari bahwa dompetku hilang. Aku mencoba memutar arah, kembali melintasi gang
yang tadi aku lewati. Ya gang kecil , dekat warung nasi langgananku setiap
hari.
Setiba di warung Mbok Karmi, yaitu pemilik sekaligus pelayan
warung. Aku tanyakan perihal dompet berwarna hitam. Namun jawabannya tak
memuaskan batinku, nihil juga. Tak terima, merasa tak puas, gang tadi kusisir
sampai tiga kali dan mengira kemungkinan terbesar yang terjadi. Namun usaha itu
tak membuahkan hasil. Hingga asa menghinggapi.
Aku memutuskan kembali ke asrama. Setiba di asrama, aku tak
langsung memakan makanan yang dibeli tadi. Aku masih kepikiran dompet hitam
kesayanganku, pemberian ayah sewaktu di Aliyah dulu.
Sebenarnya, di dalam dompet, berisi KTP, KTM, ATM dan uang tak
seberapa jumlahnya. Dan yang paling penting adalah dompet hitam kesayanganku
itu, tak akan bisa kulupakan memori sejarah yang terukir di dalamnya. Sembari
memandangi makanan yang telah dingin, berubah kepandangan kosong keluar
jendela, seolah-olah mengulang sejarah perjalanan bertahun-tahun, antara aku
dan dompet.
***
“Hayo ada apa ini, kok melamun. Belum
makan po ?”. Tanya Tino kakak senior asrama.
“ Iya ee mas,,,”. Sahutku dengan
wajah bermuram durja
“Piye iki,,,ngopo?”.
Dengan suara medok Jawa campuran itu
“ Dompetku hilang mas”. Jawabku singkat
“Sebentar-sebentar. Tenangkan dirimu
dulu, jangan panik. Dimana hilangnya?”. Mencoba menenangkan
Kemudian aku menceritakannya, mulai
dari asrama sampai kejadian dimana aku kehilangan dompet hitamku, untuk hal
bercerita aku memiliki keahlian yang secara tidak langsung turun-temurun dari
keluarga ibu. Dengan hafal dan secara rinci seolah-olah mesin foto dengan
teknologi terkini.
Tak lama bagiku untuk menceritakan kejadian yang aku alami. Tiba-tiba
Mas Tino langsung mohon diri, entah tak tahu apa yang akan dilakukannya. Aku
hanya berdoa dan berharap kepada Tuhan semoga dompet hitamku jatuh ke tangan
yang benar dan dapat kembali kepelukanku.
Selang beberapa menit, mas Tino kembali kekamarku dengan nafas
tersengal seperti habis dikejar anjing. Dengan cepat Mas Tino mengatur nafas
dan membenarkan jepitan di rambutnya.
Dia memulai pembicaraan dengan mengatakan, ada berita baik dan ada
berita buruk. Aku tak mengerti maksudnya, lalu ia menjelaskan padaku. Bahwa
tadi, setelah mendengarkan ceritaku, Mas Tino langsung mengeceknya di TKP, gang
kecil dekat warung makan. Ia mendapatkan informasi tentang dompetku yang
hilang. Dari salah satu warga sekitar gang. Bahwasanya, tadi siang sekitar
ba’da Jumat, ada seorang perempuan paruh baya yang memungutnya di tengah jalan.
Warga itu tidak berani menegur ketika melihat perempuan paruh baya mengambil
dompetku. Karena warga itu ragu-ragu antara menegur atau tidak. Warga itu mengira
kalau dompet hitam yang di jalan adalah milik perempuan paruh baya. Ada sedikit
harapan batinku. Sedikit lega dan bisa bernafas.
Namun, yang menyedihkan adalah
berita buruknya. Aku paling tidak suka mendengarkan berita buruk, namun apa
boleh buat. Yang terjadi semua ini, atas kehendak-Nya, pikirku. Mas Tino mulai
berbicara lagi. Warga itu yakin, perempuan yang menemukan dompet tadi bukan
orang yang kos, ataupun penduduk asli yang tinggal di daerah sekitar.
Seketika itu mataku seolah-olah berkunang-kunang. Baru saja aku
mendengarkan berita baik dan mempunyai harapan besar akan dikembalikannya
padaku. Serasa kulitku tertimbun air es. Masuk ke dalam pori-pori kulit, terasa
sampai qolbu. Serta membuat degup jantung kembali normal. Namun, baru beberapa
menit aku menikmatinya, sudah harus diputus cairan panas, berupa berita buruk yang
mengucur bebas dari atas kepalaku, hingga kulit ini seolah melepuh mengeluarkan
keringat dingin mengalir bebas.
Masyaallah. Teriakku dalam hati. “Terima kasih mas, atas bantuan dan
informasinya”. Kata sendu bernada semu, tak bergairah dan keputusasaan menjalar
diseluruh urat nadiku. Menyebar keseluruh tubuh. Nasi yang sedari tadi masih
terbungkus, tak aku perhatikan karena masih memikirkan kejadian yang aku alami.
Namun perut yang sedari pagi belum terisi apapun, mulai berkontraksi.
Karena mulai bangun tidur sampai selesai sholat Jumat, perutku kosong tak
berisi. Hanya air mineral yang aku minum. Itupun, tegukkan terakhir. Karena
tukang air isi ulang yang biasa mengisi galon, kebetulan libur. Kini lambungku memberontak,
ingin bekerja seperti biasanya.
Tak ingin menambah sengsara dan nelangsaku, sedikit demi sedikt
mulai kuraih dan mencoba membukanya. Nasi sayur dengan lauk tempe goreng. Menjadi
sarapan, sekaligus makan siangku. Dengan bumbu kesedihan, karena kehilangan
salah satu benda berharga pemberian ayahku.
“Mungkin dompet hitamku butuh majikan yang baru. Jikalau dompetku kembali,
itu sebuah kebahagian bagiku. Dan kalau tidak kembali, memang itu musibah”.
Pikirku smbil berusaha menghabiskan sisa-sisa
nasi yang menempel ditangan.
***
Malam itu sunyi, sepi. Biasanya, asrama
tempat tinggalku selalu ramai dengan suara. Entah itu sekedar ngobrol,
bercanda, bermain gitar ataupun menonton bola. Namun malam ini, nampak sunyi
sekali. Tak ada aktifitas kehidupan.
Yang ada hanya suara hewan malam, jangkrik serta suara gemericik air
yang berasal dari kamar mandi yang menemaniku dalam kesunyian dan kesepian
malam ini. Namun dengan keadaan seperti ini, aku baru teringat. Aku mencoba
menengok dinding, jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Ternyata sekarang sudah
pagi. Aku bangun, berusaha membuka mata yang terasa masih lengket. Aku berdiri
dan langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu untuk melaksanakan Qiyamul
Lail.
Beberapa sholat sunnah aku tunaikan. Tak lupa Sholat Sunnah Hajat.
Dan aku menutupnya dengan lantunan doa Hajat, sekaligus doa yang pernah aku
pelajari di pondok. Seperti kata Kyai, beliau pernah memberikan doa, yang intinya
untuk mengembalikan barang milik kita, tentunya atas izin Allah SWT. Ayatnya
yaitu,“Fasubhanalladhi Biyadihi Malakuutu Kulli Sai’iwwailaihi Turja’un” .
Maka Maha Suci Allah yang di Tangan-Nya kekuasaan, atas segala sesuatu dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan ( Q.S Yassin, ayat ke-83).
Aku rapalkan doa itu, sebisa dan semampuku. Dengan penuh keyakinan,
akan hajat yang aku minta kepada Allah. Sisanya ihtiyar kujalankan. Disela-sela
doa, aku meminta agar diberikan petunjuk dan langkah apa yang harus aku lakukan.
Semua curhatan, aku tumpahkan kepada-Nya saat itu juga. Belum sampai tangan ini
mengusap wajah, tiba-tiba terlintas dipikiranku ide untuk membuat sebuah pamflet
pengumuman, tentang kehilangan dompet yang aku alami kemarin.
Pada saat itu juga aku bergegas membuka laptop dan menarilah jari-jariku
diatas keybord laptop. Mengetik isi pengumuman untuk dipasang di sekitaran
tempat dimana dompetku hilang. Hanya butuh beberapa menit aku menyelesaikan format
pamflet itu.
Semua data, bukti dan ciri-ciri kepemilikan sudah tertera dan juga
nomer handphone-ku. Aku teliti, aku baca ulang, terasa semuanya sudah lengkap,
termasuk tempat tinggal asrama, di Yogyakarta. Untuk lebih memudahkan dalam
pencarian dompet.
Mungkin apa yang aku lakukan ini belum tentu bisa mengembalikan
dompetku. Namun aku tetap optimis dan banyak bersabar. Urusan ketemu bagiku
sekarang nomor dua dan yang paling penting aku sudah berihtiyar. Soal ketemu
tidaknya, aku pasrahkan kepada Allah yang aku yakini kebenarannya.
***
Pagi sekali, aku mencetak file yang
diketik semalam. Setelah itu, langsung meluncur ke TKP, gang kecil dekat warung
langganan, dan jalanan sekitar dimana aku kehilangan dompet. Sebelum
menempelkan, tak lupa aku mohon izin kepada Pak RT, Pak Dukuh dan juga warga
sekitar untuk menempelkan pamflet pengumumanku. Di papan pengumuman dukuh., di sudut-sudut
jalan, di pojok kampung dan di tiang-tiang listrik tak luput dari operasi
penempelanku.
Beberapa lembar pamflet pengumuman habis dengan cepat. Karena dibantu
oleh kedua temanku, yang setia dan baik sekali denganku. Mereka bernama Fauzi dan
Abdul. Setelah itu, tiba-tiba lelah menyergap dan aku memutuskan kembali ke
asrama. Sekarang bagiku hanya berdoa, berdoa dan terus berihtiyar. Menunggu
telpon atau sms yang membutuhkan kesabaran. Karena memang harus menunggu dan
terus menunggu.
Setelah curhatanku kemarin, pada waktu sepertiga malam kepada Allah
SWT. Aku mulai belajar bagaimana harus bersabar menerima ujian dan cobaan, yang
berasal dari Sang Khalik. Bukankah, Barang siapa yang sanggup menerima ujian
dan cobaan-Nya serta berhasil lolos. Akan mendapatakan peringkat yang ditandai dengan
semakin meningkat, amal, perbuatan dan
ibadahnya kepada Allah SWT.
***
Hari berganti hari, terasa begitu
cepat dan genap seminggu setelah berita kehilangan itu aku tempelkan. Namun
belum ada satupun, yang menghubungi
nomor yang sudah aku cantumkan di pamflet pengumuman. Ada satu momor masuk ke
dalam handphone jadulku, aku baca isinya, ternyata hanya orang iseng yang ingin
berkenalan denganku. Masyaallah.
Bukannya memberi informasi, malah ingin berkenalan. Dia kira
aku seorang perempuan. Karena tertulis di pamflet itu, atas nama Fitri Bayu
Firdhaus. Nama Fitri yang menjadi alasan kenapa aku disangkanya perempuan. Allah
ya Roob, gerutuku. Pasrahku tumbuh, hanya Allah yang bisa membantuku. Iya hanya
DIA. Sedikit demi sedikit, aku sudah merelakan dompet hitam pemberian ayah itu,
dengan sedikit rasa yang mengganjal dihati dan dengan segala kepasrahan karena
Allah Ta’ala.
Aku iklas, jikalau harus
berpisah dengan dompet hitam bersejarah itu. Rencana ke depan, aku ingin segera
membuat kartu identitas. Berupa Kartu Tanda Penduduk, untuk akses kesemua kartu
yang diperlukan. Yang selama ini aku miliki termasuk SIM, ATM, KTM. Karena
sudah menjadi skala prioritas dalam
hidupku. Yang jauh dari orang tua merantau di negeri orang, yang akan berjalan
mulus, jikalau identitas diatas ada.
Menurutku, lebih baik memikirkan masa depan, memikirkan sesuatu
yang ada di depan kita yang secara nyata. Daripada memikirkan sesuatu, yang belum
ada kepastian. Ya aku harus bangkit. Masak cuman gara-gara dompet hilang,
semuanya juga harus hilang.
Tak akan kubiarkan semua itu terjadi. “Allahu Akbar, aku harus
bisa”. Teriakan semangatku menggelora. Seolah aku menjelma sebagai Presiden
Sukarno, yang bisa membakar semangat rakyat Indonesia versi-ku. Untuk
menjunjung tinggi semangat pribadiku sendiri. Aku berdiri mematung, seperti
patung Sukarno, berpose menggepalkan tangan yang sedikit maju kedepan, dengan mimik
muka garang.
Seolah-olah aku berdiri di podium. Dihadapan ribuan bahkan jutaan
rakyat Indonesia yang tak lain adalah berdiri diatas meja kecil, yang aku
sendiri tak menyadarinya. Dan disaksikan oleh rakyat, barang-barang dan benda
perabotan asrama yang hanya bisa diam, tak ada yang merespon teriakan
semangatku.
Tok,,tok,,tok, terdengar suara hp-ku berbunyi, kubuka, dilayar kaca
tertera.
“Mas aku yang menemukan dompet sampean. Sekarang mas bisa
mengambilnya, di pos satpam UIN, dan maaf baru memberitahukan sekarang”.
Langsung dengan sigap dan cepat aku membalasnya.
“Benarkah itu mbak, mas?”. Kukirim segera.
Semula jantungku ini, berdetak beraturan. Kini jantungku mulai
berdetak tak menentu. “Dig-dug, dig-dug, dig-dug,,dug”. Bertempo lebih cepat
dari biasanya, seolah mengiringi jalannya, saat aku menunggu sms balasan dari
sang penemu dompet.
“Iya mas, ini benar. Mohon nanti dicek dulu, takutnya kalau ada
yang kurang”.
Tanpa berganti baju, dengan kostum yang masih melekat ditubuh,
dengan memakai atasan hitam. Kaos kebanggaanku, yang bertuliskan Pidato
Sukarno. Lengkap dengan gambarnya dan bawahan training berwarna hitam bersirip
merah. Kunci motor aku tancapkan, gas aku pegang dan seketika itu tubuhku
melesat cepat meninggalkan asrama menuju pos satpam UIN. Yang tak jauh dari
asrama tempat tinggalku, hanya beberapa menit. Dan sampailah aku di tempat tujuan.
Motor aku parkir sebelah kantor satpam. Dengan nada suara pelan,
aku menanyakan perihal dompet itu dan menceritakan perihal kejadian dua minggu
yang lalu. Menurut sumber, yaitu orang yang menemukan, dipasrahkan di pos ini,
“apakah benar dompet hitam saya, masih ada di sini?”. Tanyaku dengan penuh semangat.
Pak satpam yang menjaga pos hari itu manggut-manggut, mendengarkan
penuturan yang aku sampaikan. Setelah beberapa kali pertanyaan, yang ia ajukan
kepadaku. Mungkin itu, untuk sekedar menguatkan tentang bukti kepemilikan. Dan
itu tak sulit bagiku, karena pertanyaaanya, perihal diriku sendiri. Mencocokan
data dengan kenyataan, selaku pemegang identitas yang sah. Karena sebagai
petugas keamanan, mereka tak mau membuat kesalahan hanya karena, gara-gara
salah memberikan hak milik orang.
Aku akui kedisiplinan bapak-bapak satpam itu. Aku bangga pada
mereka karena tak mau menggambil barang yang bukan hak dan miliknya. Dan
terlebih lagi, perempuan yang menemukan dompetku. Ia tak mengambil sedikitpun,
ia hanya melihat kartu identitas yang ada didalam dompetku dan itupun ia sudah
memohon maaf kepadaku, karena membukanya tanpa seizin dariku. Aku kagum dan
takjub kepadanya. Subhaanallah.
Sebagai tanda terima kasihku kepadanya, aku menggundangnya untuk
makan malam bersama di sebuah cafe atau mungkin di sebuah rumah makan. Namun
itu hanya rencana. Allah berkehendak lain, ia dan suaminya harus bersiap-siap
mengemasi barang-barangnya. Karena mereka ingin pindahan ke daerah yang lebih
nyaman, bersih dan terjangkau. Mereka sepasang suami istri yang baru akan
memiliki calon bayi, yang mereka idam-idamkan dan juga oleh banyak orang yang
sudah menikah.
Aku hanya bisa kecewa sekaligus bahagia, karena dompetku hitam
pemberian ayahku telah ketemu. Dan tak lupa juga untuk melengkapi kebahagiannku
aku mengadakan syukuran kecil-kecilan, berwujud shodaqohan, makanan untuk teman
asrama yang sudah bekerjasama, membantuku, baik berupa pikiran atau tenaga yang
semuanya sangat berjasa bagiku.
Aku yakin, Allah mempunyai maksud dari setiap peristiwa yang telah
aku alami, oleh sebab itu aku ingin memperbaiki, apa yang perlu diperbaiki dan
meluruskan dari setiap apapun yang membengkok. “Dan Sesungguhnya Allah akan
selalu bersama dan mencintai orang-orang yang sabar”. Sabar itu Indah.